Oleh: Rofiq Daroini, S.Pd.
BRAK…. “Maaf, Tante. Aku sedang terburu-buru tidak melihat kalau tante sedang menyeberang”
Sambil memunguti jajanan yang berserakan kemudian dimasukkan ke dalam kerangjang sepedanya.
“Kamu tidak apa-apa, Nduk? Bukan kamu yang salah, Saya yang salah tadi menyeberang tidak tengak-tengok kanan-kiri. Sini Saya bantu.”
“Saya tidak apa-apa, kalau Tante bagaimana?”
“Saya tidak apa-apa.”
“Terimakasih Tante, Saya telah dibantu. Maaf, Saya harus segera pergi karena sudah ditunggu ibuku”
“Eh, sebentar. Kerudungmu jadi kotor gegara jatuh tadi. Ini terimalah kerudung ini. Tadi waktu beli baju di pasar dapat hadiah kerudung ini, Saya kurang suka, terimalah sebagai permintaan maaf Saya.”
“Tidak usah Tante, nanti Saya cuci kerudungku.”
“Sudahlah, jangan menlolak. Anggap saja ini rezeki kamu dari Allah.”
“Terima kasih, Tante,” ucapnya sambil mengayuh sepedanya dengan tergesa-gesa.
“Namamu siapa, Nduk….?” Tante itu berteriak dari belakangnya.
“Eli, Tante.” sambil menoleh ke belakang ke arah tante tadi seraya mencengkram rem sepedanya.
“Kemana tante yang ku tabrak tadi? Cepat sekali hilangnya.” Ia terheran heran, namun cepat-cepat kembali mengayuh pedal sepedanya.
Sesampainya di tempat jualan ibunya, Eli langsung menurunkan standar sepedanya.
“Darimana saja kamu, Nduk. Kok lama sekali?” Tanya ibu.
“Tadi habis terjatuh dari sepeda, Bu.”
“Lho, kenapa?”
“Nabrak ibu-ibu yang sedang menyebrang.”
“Trus, bagaimana?”
“Alhamdulillah, Saya dan tante itu tidak apa-apa, cuma baju dan kerudung Saya jadi kotor semua, karena jalanan pas becek, Bu.”
Eli menceritakan semua kejadian yang dialaminya ketika belanja di pasar, termasuk kerudung yang diberikan oleh wanita yang ditabraknya.
“Ya sudah segera mandi sana, biar kelihatan cantik lagi.” kata ibu sambil menata barang jualannya yang baru dibelanjakan anak perempuan satu-satunya itu.
Semenjak ayahnya meninggal, untuk memenuhi kebutuhan sehari hari sekaligus untuk biaya sekolahnya. Eli harus membantu ibunya jualan gorengan dan berbagai jajanan. Sang ibu jualan di rumah, sedangkan Eli membatu berjualan dengan berkililing di sekitar kampung sepulang sekolah, belum lagi kalau malam harus membatu ibunya membuat gorengan. Kadang pekerjaan itu membuat Eli kelelahan, akibatnya belajarnyapun sering terganggu dan akibatnya nilai raport Eli semakin lama semakin anjlok. Elipun tidak bisa mengelak dari keadaan itu dan dia menerima semuanya dengan niat birrul walidain.
Keesokan harinya setelah mandi, Eli mengenakan seragam sekolahnya dan mencoba kerudung putih yang diberikan oleh tante yang tempo hari ditabraknya. Kemudian ia membantu ibu mempersiapkan sarapan sebelum berangkat sekolah.
Saat bersama-sama mempersiapkan sarapan, si ibu terus memperhatikan Eli dengan terheran heran.
“El, kamu beli ini semua dari mana?” Ibu bertanya sambil memutar mutar badan Eli.
“Beli apaan sih? Ada-ada saja ibu ini.” Eli tak kalah heran dengan yang dilakukan ibunya hari itu.
“Baju, sepatu, tas dari mana ini, trus kulitmu Nampak bersih glowing, skincare dari mana pula ini? Ibunya tak henti-henti berdecak kagum dengan perubahan pada anaknya. “Coba kamu ngaca!” Ibu mendorongnya ke kamar lagi.
Setibanya di depan kaca cermin Elipun juga ikut terheran heran dengan penampilannya saat itu. Eli yang setiap hari merelakan kulitnya legam terpanggang panasnya matahari saat jualan gorengan, kini kulit itu berubah menjadi putih bersih bercahaya, badannya yang semula terlihat kurus, kini tampak lebih berisi, dan semua yang digunakannyapun yang semula lusuh karena sudah sangat lama, kini tampak bersih seperti baru.
“Ya Allah… Bu, aku kok bisa menjadi cantik begini?” sambil terus menyentuh wajahnya dan memutar-mutar badanya di depan cermin. “Apa mungkin ini karena Aku memakai kerudung pemberian ibu-ibu kemarin ya?” Ia bergumam.
“Wah berarti ini kerudung ajaib, Kamu harus menjaganya baik baik, Nduk. Jangan disalahgunakan, malati itu. Sudah sana segera sarapan dan berangkat!” Nasehat ibu. Eli pun sarapan dan segera menggenjot pedal sepedanya.
Pagi itu sekolah SMP tempat Eli belajar menjadi heboh, pasalnya penampakan Eli yang tidak biasa hari itu. Semua mata memandangnya berdecak kagum melihat Eli mulai dari masuk gerbang sampai ke dalam kelas.
“El, ini benar kamu?” Tanya Winda teman sebangkunya dengan terus memandangi dari ujung kepala samapai ujung kaki.
“Iya, ini saya Eli teman sebangkumu”
“Ah… apakah aku bermimpi?” Sambil mencubit pipi.
“Tidak, kamu tidak sedang bermimpi, Wind.” Sambil mencubit Winda
“Aduh sakit, bener Aku tidak sedang bermimpi, kamu cantik sekali hari ini, bagaimana ini kok kamu bisa berubah secepat ini, padahal kemarin masih? Winda terus nerocos tak habis-habisnya memuji dan Eli pun hanya senyam-senyum melihat tingkah karibnya itu.
Percakapan mereka berdua berkahir tatkala guru jam pertama memasuki kelas. Pelajaran Matematika pun dimulai. Eli yang biasanya sedikit kesulitan memahami penjelasan pelajaran matematika, namun ia juga terheran heran, ia rasa pelajarannya begitu mudah, bahkan ketika guru memberi kuis di papan tulis, Eli langsung mengacungkan tangan untuk menjawab soal tersebut. Setelah selesai, semua lagi-lagi dibuat berdecak kagum, Eli mampu mengerjakan kuis tersebut dengan sangat cepat dan tepat.
“Good job, Eli. Hari ini kamu luar biasa, terus tingkatkan belajarnya ya.” kata Bu Guru.
Sementara itu, di bangku pojok paling belakang Sita dan Rini berbisik-bisik.
“Sit, ini bahaya. Kalau dibiarkan, ini bisa membahayakan eksistensi kita sebagai cewek tercantik di sekolah ini.”
“Iya, Rin. Kita harus cari tahu kenapa Eli bisa berubah secepat itu.”
Mereka berdua mulai mengumpulkan informasi tentang kejadian kejadian yang dialami oleh Eli pada hari hari sebelumnya.
Hari demi hari Eli kian menjadi bahan perbincangan teman teman dan gurunya, semua memuji kecantikan dan kecerdasan Eli saat ini bahkan banyak teman-teman prianya pun mulai banyak yang mendekatinya. Namun Eli tetaplah Eli, anak yatim yang selalu rendah hati dan selalu sopan kepada siapapun yang ia temui.
Suatu hari Sita dan Rini mendapatkan informasi perihal kejadian yang dialami Eli melalui orang orang yang ada di pasar tempat ia biasanya berbelajna kebutuhan dagangannya. Keesokan harinya Sita merencanakan untuk merebut jilbab Eli.
Seperti biasa Eli masuk sekolah belajar dan berkumpul bersama teman temannya. Sepulang sekolah Sita dan Rini meluncur lebih dahulu dengan naik sepeda motor, sedangkan Eli pulang dengan bersepeda. Adapun Sita dan Rini menunggu Eli di gang sempit yang biasanya dilewati Eli saat pulang sekolah menjuju pasar tempat ia belanja bahan dagangan.
Benar saja Eli mulai terlihat dari ujung gang, sedangkan di tengah-tengah gang Sita dan Rini sudah menunggu.
“Hai, kalian ada di sini, tumben, ada acara apa ya?” Sapa Eli?
“Hei anak yatim miskin, kamu jangan macam-macam ya, di sekolah jangan banyak tingkah!” Rini mulai menggertak sambil berkacak pinggang dan mendorong pundak Eli.
“Kami sudah tahu apa yang menyebabkan kamu menjadi sombong di sekolah” Timpal Sita.
“Maaf, Aku tidak mengerti apa yang kalian bicarakan, memang apa yang Aku lakukan di sekolah?”
“Halah, tidak usah banyak ngomong, lepas dan serahkan jilbab yang kau pakai sekarang!” Bentak Sita
“Apa yang kalian katakan, Aku tidak mungkin membuka auratku di sini, kalau kalian ingin jilbabku silakan datang ke rumahku, aku masih punya jilbab yang lain.”
“Aku tidak menginginkan Jilbab jelekmu yang lain, Aku mau yang kau pakai itu, sini!”
Sita menarik jilbab dari kepala Eli dengan kasar. Eli berusaha mempertahankan jilbabnya, namun Rini segera mendorongnya hingga terjatuh dan rambutnya yang panjang terurai.
“Ha..ha… rasain kamu! Sekarang akulah yang akan menjadi murid tercantik di sekolah” Sita menertawakan Eli yang terjatuh dan langsung tancap gas.
Eli berusaha mengerjar namun apa daya ia tidak mampu mengikuti motor Sita. Ia hanya menangis duduk meringkuk bersandar di tembok gang dengan menutupi wajahnya. Tak lama kemudian datanglah Winda sahabat Eli dan segera menghampiri Eli.
“Ya Alloh, Eli… apa yang terjadi denganmu?” Memegang kepala Eli dan mengangkatnya sehingga terlihat wajah sembabnya.
“Sita dan Rini mengambil paksa jilbabku” Eli masih terisak isak.
“Benar dugaanku, Aku tadi sudah curiga ketika bertemu mereka dijalan, pasti mereka merencanakan sesuatu yang tidak baik kemudian aku berusaha mengikutinya tapi sayang tadi sempat kehilangan jejak ”
“Apa salahku kepada mereka, sehingga mereka jahad kepadaku?” Masih dengan tangisannya.
“Sudah yang terpenting kamu pulang dulu, ini pakailah jaketku untuk menutupi rambutmu” Winda melepaskan jaketnya dan menutupkan ke kepala Eli.
“Mari aku antar pulang” Winda menggamit bahu Eli untuk membantunya berdiri.
Sesampainya di rumah Eli menceritakan semua yang ia alami kepada ibunya.
“Sudahlah Nduk, tidak apa-apa. Kalaulah memang kerudung itu bukan haknya pastilah tidak akan baik digunakannya.”
Hari-hari berikutnya Eli menjadi seperti semula, namun yang tak berubah adalah etika, sopan santun, dan akhlaknya. Berbeda jauh dengan Sita, sejak memakai jilbab itu ia semakin menjadi-jadi. Karena kecantikan yang ditimbulkan dari jilbab ajaib itu, banyak pria dipacarinya, berboncengan dan pergi ke cafe dengan pria lain menjadi kebiasaanya dan masih banyak lagi perbuatan perbuatan yang tidak mencerminkan akhlak wanita berjilbab.
“Bu, kasihan Sita teman saya, sekarang dikeluarkan dari sekolah.”
“Memang kenapa, apa kesalahan yang ia perbuat, sampai sampai harus di keluarkan dari sekolah”
“Awalnya ia sering terlambat masuk kelas. Kata teman teman, ia kebanyakan begadang, lama-lama sering tidak masuk dan saat di tegur oleh bapak ibu guru kadang ngelawan ‘Walaupun aku jarang masuk, tapi nilaiku tetap paling bagus kan?’ itu yang ia katakan kepada bapak ibu guru” Eli meletakkan pisau yang ia gunakan mengupas bawang. “Bu, kenapa ya sikap Sita seperti itu, padahal ia juga berhijab, lebih-lebih setelah merebut jilbab ajaib dariku?”
“Entahlah Nduk, trend memakai hijab saat ini patut dibanggakan, namun sebaliknya juga patut disayangkan, karena hanya sebatas trend. Dulu wanita berjilbab identik degan wanita baik baik, wanita sholihah, santri atau apalah yang baik baik, tapi sekarang baik yang berjilbab ataupun tidak sudah tidak ada bedanya” Ibu membenarkan posisi duduknya dan menghadap ke Eli. “Coba kamu perhatikan Wanita sekarang! Berhijab tapi aurat lain ditonjolkan, berhijab tapi berpacaran, berhijab tapi ujarannya penuh kebencian, berhijab tapi sesama muslim dikafirkan, ini namanya pencorengan kesakralan hijab.”
“Jadi untuk berhijab, kita harus beradab baik dulu ya,Bu”
“Ya tidak harus begitu, karena merasa baik itu namanya juga tidak beradab” berhenti sejenak menuangkan air dari teko kemudian meneguknya. “Memang sebagai seorang Muslimah, kita harus menaati hukum-hukum yang telah ditentukan oleh syari’at, namun juga sangat perlu penanaman pendidikan adab terlebih dahulu sejak dini karena adab itu diatas ilmu”
“Terus kita sebagai Wanita Muslimah harus bagaimana, Bu?”
“Anakku, semua amal yang kita kerjakan baik dan buruk pasti ada balasan, tak satupun akan terlewatkan dari mizan. Wanita yang berjilbab akan ditimbang amalnya, demikian pula yang tidak berjilbab. Belum tentu yang berjilbab lebih banyak amal baiknya kemudian masuk surga dan belum tentu juga tak berjilbab lebih banyak amal buruknya kemudain masuk neraka, semua akan sesuai timbangan amal perbuatannya.”
“Oh begitu ya, Bu. Semoga dengan jilbab yang sehari-hari aku pakai ini bisa menjagaku dari perbuatan-perbuatan buruk.”
“Amin…, malam sudah larut, sudah sana segera tidur dulu, besok kamu harus sekolah, adonan ini biar ibu yang menggoreng, kurang sedikit.”
Kini Eli menjalani hari-harinya seperti sediakala bersekolah, bermain dengan teman-teman, dan membantu ibu jualan.
Saat pulang sekolah mampir ke pasar untuk membli bahan jualan tiba-tiba BRAK…. Eli terjatuh dari sepeda menghindari seorang Wanita yang sedang menyebrang jalan.
“Maaf Tante, Aku hampir menabrak, Tante. Aku tergesa-gesa”
“Tidak apa-apa, Nduk. Sini saya bantu berdiri”
“Terimakasih tante. Eh, maaf, bukanya tante orang yang pernah saya tabrak beberapa waktu yang lalu dan memberi saya jilbab?”
“Benar, itu saya, Nduk”
T A M A T
