Oleh : Ibu Ika Ismawati, S.Pd.I

Masyarakat kita tengah mengalami pergeseran nilai yang luar biasa. Pergeseran itu bisa kita tilik dari kehidupan sehari-hari di kalangan anak-anak muda, yang tak lagi mengindahkan adab, tata susila, maupun cara ujar berbahasa. Pergeseran ini tentu tak lepas dari peran media digital, khususnya, media pandang-dengar (audio visual, televisi, handphone) yang sehari-hari telah menjadi “guru bagi anak-anak” dan “guru kita semua” sebagai anggota keluarga. Cara termudah untuk memahami pergeseran nilai itu, adalah menjamurnya kedai kopi. Kini, kedai kopi itu lebih banyak menyesuaikan sebutannya dengan café. Sebuah istilah yang akrab di telinga kalangan menengah, tapi karena adanya kesadaran agar “ikut-ikutan gaul” penjual kedai kopi menempel nama spanduknya “café”. Di cafe-cafe, berjejal anak muda, remaja dan anak-anak yang mulai tumbuh berkembang. Mereka asyik dengan hobinya masing-masing. Salah satu contoh ketika banyak orang yang sama-sama duduk di samping mereka, pada saat di antara mereka mengambil sesuatu yang hendak disantap dari pilihan menu yang ada, mereka tidak lagi memegang tata-krama sosial atau kurang sopan . Dulu, kita diajarkan untuk berucap “Maaf permisi”, atau dalam bahasa Jawa “Nyuwun sewu…., ngapunten….”.

Aspek tradisional seperti :Unggah Ungguh” pun nampaknya semakin menghilang dalam interaksi remaja saat ini. Kini, rasanya hal itu sesuatu yang langka bila diucapkan oleh anak-anak remaja sebagai salah satu perwujudan dari “Adat Ketimuran” yang pernah kita agungkan itu. Ketika mereka mengambil sesuatu di depan kita, langsung saja tak melihat kiri-kanan ada seseorang atau tidak, seolah yang menjadi tujuan untuk mengambil barang , makanan, atau sesuatu itu, langsung saja tangannya tertuju. Moral sebagai perangkat ide – ide tentang tingkah laku hidup, dengan warna dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia di dalam lingkungan tertentu. Demikian Wila Huky merumuskan pengertian moral. Moral adalah ajaran tentang laku hidup yang baik berdasarkan pandangan hidup atau agama tertentu. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, mendasarkan pada kesadaran; ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik, sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungannya.

Bila kita cermati saat ini, ada pertarungan antara bahasa Indonesia dengan bahasa-bahasa lain dalam globalisasi. Penggunaan bahasa yang kasar dan kurang sopan yang seringkali mereka ujarkan. Sebagai contoh, sekarang ini banyak remaja yang menggunakan bahasa yang diistilahkan dengan “ bahasa gaul” . Mereka mengganggap dengan bahasa gaul yang dipakai memberikan label bahwa mereka bisa mengikuti trend anak gaul. Bahasa belang-bonteng yang diucapkan tak hanya terjadi pada percakapan interpersonal sehari-hari. Tapi juga (terutama) di social media. Media memicunya, memproduksinya, dan menyebarluaskannya. Media menjadi pemicu utama atas perkembangan bahasa, termasuk sumbangannya terhadap perusakan bahasa. Kritik tajam terhadap media sebagai perusak bahasa, kerap datang dari ahli bahasa yang merasa bertanggungjawab atas upaya untuk apa yang populer dan klise disebut sebagai “berbahasa Indonesia yang baik dan benar”. Dari sinilah orang tua, pembimbing dan masyarakat secara inklusi berperan dalam membimbing remaja untuk mengembangkan seperangkat etika dan tata krama yang seimbang. Dengan demikian, setiap anak-anak muda dapat menghadapi era digital dengan bijak dan mampu menjalin buhungan bermakna yang menjunjung tinggi adat budaya ketimuran, guna meminimalisir dan membendung pergeseran nilai-nilai sosial yang akan mengikis adab dan tata susila dalam norma-norma kehidupan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Open chat