Oleh: M. Alfan Nurofi, S.Pd.
Saat ini masyarakat di berbagai belahan dunia, dalam setiap lapisan dari segala tingkat usia dapat dikatakan sudah begitu akrab dengan media social. Hal tersebut dapat dilihat dari akrabnya masyarakat dengan penggunaan blog, podcast, berbagai situs media sosial, dunia virtual (virtual reality), berbagi video, foto dan informasi). Situs media sosial dengan cepat menjadi viral di mana-mana dan telah menjadi salah satu sarana komunikasi terpenting belakangan ini.
Fenomena tersebut tentu berdampak pada setiap aspek mulai dari perilaku dan gaya hidup. Dalam aspek sosial misalnya, manusia sekarang cenderung lebih mengandalkan gadget dalam segala urusan hingga hal kecil dan sederhana sekalipun. Dalam aspek lain dampak dari fenomena ini juga sangat signifikan.
Pada dunia pendidikan misalnya. Mewabahnya dunia virtual yang dikemas dalam media sosial yang beragam, seakan memberi hantaman langsung pada kaum anak-anak dan remaja yang notabene masih berstatus sebagai pelajar. Hal tersebut tentu memberi dampak langsung pada proses pendidikan baik formal maupun non formal, sebab tak jarang bahkan sering dijumpai semangat belajar anak menurun disebabkan teralihkan oleh gadget yang memang menawarkan hiburan beraneka ragam bagi anak-anak dan remaja.
Permasalahan yang timbul pada siswa tersebut tak jarang memunculkan asumsi tajam dari masyarakat, bahwa seakan menuding para guru yang kurang mampu mengajarkan kebaikan di era ini. Sebab guru di era ini dinilai guru juga hanyut dalam dunia virtual, guru sosialita, guru gamers, dan lain semacamnya.
Sebagai guru tentunya harus peka terhadap gerak alam. Bukan berarti latah, akan tetapi juga tidak boleh ketinggalan. Nyatanya dengan menggunakan teknologi (smartphone dan internet) jauh lebih banyak media dan sumber pembelajaran yang dapat digunakan. Hal itu tentu saja sangat membantu dalam proses pembelajaran. Nahkan saat ini media-media pembelajaran online sudah mulai marak. Jika seperti ini apakah masih saja guru yang menguasai dan akrab dengan perkembangan teknologi dianggap guru yang “kurang gawean” karena mengikuti gaya pergaulan anak muda.
Bahkan tanpa disadari, lebih dari sekedar membantu dalam proses pembelajaran dengan adanya guru milenial yang paham dan akrab dengan berbagai macam media sosial yang bersifat maya, tentu guru juga dapat dengan mudah mendalami karakter siswa serta mengenali keadaan emosional siswa. Selain itu guru juga dengan mudah mengontrol dan mengawasi pergaulan siswa sebab anak muda zaman sekarang cenderung mengabarkan apapun di media sosialnya, baik itu sedang melakukan kegiatan apa, sedang merasakan hal bagaimana, sedang dengan siapa, dimana dan semuanya. Dengan adanya guru yang melek teknologi seperti ini, maka dengan mudah dan cepat guru akan tahu keadaan siswanya saat itu juga. Jadi, apakah masih guru zaman sekarang yang telah “terkontaminasi” oleh arus deras perkembangan zaman dan berbagai macam aliran dunia maya dikatakan tidak mampu mendidik?
Kembali lagi ke permasalahan guru, tidak selayaknya masyarakat mencibir dan memukul rata terhadap guru yang bermain smarphone tidak bisa mendidik, justru mengajari keburukan. Justru seorang guru pada zaman ini perlu belajar dan menguasai hal tersebut agar tidak diplekoto oleh siswanya. Jika banyak orang mengatakan jika generasi sekarang telah kehilangan jati diri, kehilangan budaya warisan dan sebagainya. Maka disinilah peran guru sangat dibutuhkan. Dengan ide-ide cerdas dan kreatifitas guru-guru yang telah belajar teknologi, bukan tidak mungkin guru mampu menyisipkan nilai-nilai luhur budaya bangsa dan mewujudkanya dengan kombinasi kecanggihan teknologi. Seperti aplikasi-aplikasi pembelajaran serta game-game android yang mendidik atau sebagainya. Pada intinya semua guru itu baik, semua guru berkarakter di zamanya masing masing.