Oleh Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam, Durjan, Kokop, Bangkalan, Jawa Timur.
Baru saja kita meninggalkan Desember dan memasuki Januari, bulan pertama yang mengawali tahun baru untuk tahun 2022. Meski tahun sebelumnya sudah lewat, suasana tahun baru masih sangat terasa. Sisa-sisa perayaan dan beragam selebrasi masih muncul dan tersebar di beberapa media, terlebih sosial media, seperti Facebook, Instagram, WhatsApp, Twitter, dan lainnya. Selain itu, beberapa orang masih berlomba-lomba menampilkan yang terbaik sebagai kenangan akhir dari tahun sebelumnya
Sesungguhnya yang perlu dan penting untuk ditumbuhkan kembali, tahun baru tidak hanya berbicara tentang selamat datang era baru, namun juga mengajarkan selamat tinggal masa lalu. Dengan hilangnya masa lalu dan datangnya tahun baru, menunjukkan bahwa umur manusia semakin bertambah. Hal itu berarti, diri semakin mendekati kematian dan demikian seterusnya. Umur yang oleh Rasulullah diperkirakan antara enam puluh sampai tujuh puluh kian menghilang, dan akan terus menghilang. Oleh karenanya, sebagai umat Islam, semangat merayakan tahun baru seperti saat ini, bukan sekadar dengan menggelar pesta kembang api, atau menghabiskan malam dengan gegap gempita trompet.
Sudah selayaknya, tahun baru memberikan semangat baru dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT, serta membuat amal ibadah dan karya nyata selama hidup di dunia. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Surat Al-Hasyr ayat 18).
Imam Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik al-Qusyairi (wafat 465 H) dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa ayat ini memiliki dua makna takwa, (1) takwa dalam konteks siksaan (‘uqubah). Yaitu Allah akan menyiksa orang-orang yang tidak taat kepada-Nya, sehingga Ia memerintahkan hamba-Nya untuk bertakwa; dan (2) takwa dengan konteks spirit baru. Yaitu mempersiapkan diri untuk menambah ketaatan, dengan memperhatikan pekerjaan-pekerjaannya untuk dipertanggungjawabkan kelak di akhirat.
Untuk mengetahui orang-orang yang memiliki semangat baru dalam melakukan ketaatan, setidaknya ada tiga tanda menurut Imam Qusyairi yang bisa dijadikan pedoman. Pertama, memperbaiki hari-hari yang sedang dihadapi dengan memperbanyak ibadah dan kebajikan lainnya. Kedua, berpikir untuk hari-hari selanjutnya, serta membenahi kekurangan sebelumnya. Ketiga, menggunakan setiap waktunya dengan sebaik mungkin, dengan memenuhi semua kewajiban dan tanggung jawabnya. (Imam Qusyairi, Lathaiful Isyarat, [Mesir, Hai’ah al-Mishriah, cetakan ketiga], juz VII, halaman 411).
Dari penjelasan Imam Qusyairi tersebut, dapat disimpulkan bahwa Surat Al-Hasyr ayat 18 itu memiliki makna tentang “semangat” baru menuju era baru. Jika dalam konteks ayat di atas adalah akhirat, begitu juga dengan konteks tahun baru seperti saat ini. Sudah selayaknya pergantian tahun menjadi ajang sakral sekaligus momentum untuk menumbuhkan semangat baru dalam menjalani hidup di dunia. Segala perbuatan dan tindakan yang sebelumnya kurang baik dan tidak sempurna, saatnya untuk diperbaiki dan disempurnakan.
Datangnya tahun baru menjadi ajang untuk menumbuhkan semangat baru. Hal itu dilakukan agar satu tahun ke depan tidak menjadi tahun yang memiliki nilai dan sejarah yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat,
مَنْ كَانَ يَوْمُهُ خَيْرًا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ رَابِحٌ. وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ مِثْلَ أَمْسِهِ فَهُوَ مَغْبُوْنٌ. وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ شَرًّا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ مَلْعُوْنٌ
Artinya, “Siapa saja yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka ia (tergolong) orang yang beruntung. Siapa saja yang hari ini sama dengan hari kemarin, maka ia (tergolong) orang yang merugi. Siapa saja yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka ia orang yang dilaknat (celaka).” (HR Al-Hakim).
Dalam riwayat yang lain disebutkan, orang-orang yang harinya justru lebih buruk dari hari-hari sebelumnya, maka tidak ada kebaikan selain kematian untuknya. Riwayat ini sebagaimana dikutip oleh Syekh Ibnu Ajibah dalam kitabnya,
مَنْ اِسْتَوَى يَوْمَاهُ فَهُوَ مَغْبُوْنٌ وَمَنْ كَانَ آَخِرُ يَوْمَيْهِ شَرًّا فَهُوَ مَلْعُوْنٌ وَمَنْ لَمْ يَكُنْ فِي الزِّيَادَةِ فَهُوَ فِي النُّقْصَانِ وَمَنْ كَانَ فِي النُّقْصَانِ فَالْمَوْتُ خَيْرٌ لَهُ
Artinya, “Siapa saja yang kedua harinya (saat ini dan kemarin) sama, maka ia (tergolong) orang yang rugi. Siapa saja yang hari terakhirnya lebih buruk, maka ia terlaknat. Siapa saja yang tidak berada pada peningkatan, maka ia berada pada pengurangan. Siapa saja yang berada pada pengurangan, maka kematian lebih baik baginya.” (Ibnu Ajibah, Iqazhul Himam Syarh Matnil Hikam, juz I, halaman 127).
Dari dua riwayat di atas dapat disimpulkan, semangat baru untuk meningkatkan kualitas diri dan kuantitas kebaikan untuk menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya memiliki peran sangat penting, apalagi bersamaan dengan momentum awal tahun. Sudah saatnya, semangat baru untuk menjadi pribadi yang lebih baik perlu ditingkatkan. Segala kekurangan dan kesalahan yang terjadi pada tahun sebelumnya sudah tiba untuk diubah menjadi kebaikan dan kelebihan di tahun berikutnya. Baca juga: Keutamaan Muhasabah atau Introspeksi Diri. (sumber: nu.or.id)